Senin, 01 November 2010

Ramadhan yang Hilang

Ramadhan akan segera berlalu, sepuluh malam terakhir di bulan yang penuh rahmat ini, seyogyanya umat Islam berlomba-lomba meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepadaNya, saat sholat tarawih masjid-masjid dipenuhi oleh para jama’ah dan dilanjutkan dengan tadarus rutin. Namun sepertinya itu hanya menjadi sejarah yang ada di zaman Nabi dan para sahabatnya saja, saat ini jika kita melihat kondisi umat Islam menjalani detik-detik terakhir bulan Ramadhan, hati terasa miris. Ritual-ritual ibadah sedikit demi sedikit terkikis dan hampir punah.
Di bulan Ramadhan setan dan bala tentaranya telah dirantai agar tidak berkeliaran menggoda manusia dalam menjalankan ibadah, sehingga seharusnya di bulan ini kita tidak menyaksikan kecuali kebaikan. Tetapi mengapa saat ini masih sering kita saksikan kejahatan, kriminalitas, dan kekacauan-kekacauan lain bertebaran di setiap tempat. Lalu kemanakah bulan Ramadhan?! Mungkinkah ia telah hilang bersama meninggalnya Nabi dan para sahabat?! Sungguh hal yang membuat ulu hati terasa sakit. Ramadhan benar-benar telah hilang, hanya segelintir muslim saja yang benar-benar merasakan dan menikmati hadirnya bulan yang suci ini.
Menjelang berbuka setiap orang baik secara individu maupun kelompok berbondong-bondong mencari rumah makan dengan menu terlezat untuk berbuka. Hampir semua rumah makan, mulai dari warung-warung kecil di pinggir jalan hingga restaurant ternama ramai dengan pengunjung. Akan tetapi surau, mushola dan masjid sepi layaknya kuburan, hanya beberapa orang yang tampak di sana.
Bukan hanya berhenti sampai di situ, entah apa yang telah terjadi, kebanyakan umat Islam telah salah memaknai Ramadhan. Saat tiba waktu sholat tarawih, mereka yang sedang menikmati hidangan buka puasa bukan bergegas menyelesaikan berbuka dan segera mengambil air wudlu, akan tetapi sengaja berlama-lama menikmati hidangan yang ada di atas meja makan seakan-akan membalaskan dendam karena seharian penuh perutnya tidak diisi. Semua makanan dilahap dengan tanpa mengindahkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk makan secukupnya, yakni 1/3 untuk air, 1/3 untuk makanan dan 1/3 untuk udara. Terutama para remaja, biasanya berbuka bersama orang terkasih. Acara buka puasa pun dilanjutkan dengan ‘nongkrong bareng’ sambil menikmati indahnya malam di bulan Ramadhan. Apakah ini sebagai wujud memperingati bulan Ramadhan?! Kenyataan ini sungguh tragis.
Padahal telah diketahui bersama, Ramadhan adalah bulan penuh hikmah, berkah dan karunia, perintah untuk menjalankannya langsung difirmankan olehNya dalam Qs. Al-baqoroh:183 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertalwa.”
Ayat tersebut menjelaskan dua makna secara detail. Pertama, bahwa perintah puasa tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, akan tetapi kepada orang yang beriman. Kedua, bahwa perintah puasa bukanlah perintah baru dari Tuhan, akan tetapi Allah telah memerintahkannya kepada umat terdahulu dan terbukti meskipun puasa adalah ibadah yang berat, akan tetapi mereka mampu menjalankannya sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam saat ini mengatakan “keberatan untuk menjalankan ibadah puasa”.
Lalu dalam ayat tersebut dijelaskan pula tujuan berpuasa di bulan Ramadhan, yakni “agar kamu bertakwa”. Jadi puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga. Ada hal lain yang lebih berat dan harus ditahan oleh para shoim, yakni nafsu, lebih tepatnya lagi menjaga nafsu agar tidak melampaui batas. Nafsu adalah musuh terbesar manusia, karena selamanya ia bersemayam dalam ruh manusia, dan manusia sendiri tak akan pernah bisa mengusirnya. Karena itu manusia harus mengatur dan mengendalikannya agar tidak berlari menerjang batas atau bahkan melompatinya.
Jika dalam menjalankan ibadah puasa disertai pemahaman yang benar, yakni menjaga diri dari nafsu yang cenderung mengajak manusia berbuat munkar, maka tak akan ada manusia yang berbuat jahat di bulan ini. sehingga ibadah puasa yang dilakukannya dapat memberi manfaat pada kehidupan pribadi dan orang lain. Dan tradisi bulan Ramadhan pun tidak akan berhenti seiring dengan habisnya hari di bulan ini. Istilah “puasa selesai, ibadah juga selesai, maksiat jalan lagi” semoga tidak terucap lagi dari mulut para shoim.
Dari sini dapat dipahami bahwa puasa adalah proses untuk meningkatkan ketakwaan kita. Sebagaimana kata Guru Besar Ulumul Qur’an Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bahwa Ramadhan sebenarnya adalah madrasah atau lembaga untuk membimbing manusia menjadi lulusan yang beriman dan bertakwa. Ia akan menjadi modal awal untuk menjalani kehidupannya selama sebelas bulan pasca Ramadhan. Jika para shoim berhasil mencapai tujuan mulia Ramadhan, maka wujud baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur bukan hanya sekedar mimpi.
Sebagai umat Islam, kita harus berusaha mengembalikan makna Ramadhan. Peran ulama’, da’i, dan muballigh sangat diperlukan untuk meluruskan kembali pamahaman umat Islam tentang Ramadhan. Agar mereka yang belum tahu atau mungkin lupa akan makna hakiki dari Ramadhan segera kembali ke jalan yang lurus; shirothol mustaqiim sehingga tidak salah kaprah dalam melaksanakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar