“Barang siapa gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka.”
Demikianlah bunyi hadits populer tentang bulan Ramadhan, bulan yang selalu dianggap khusus dibanding sebelas bulan lainnya. Bulan suci yang selalu dinanti-nantikan oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia. Di bulan ini penceramah bertebaran di mana-mana, mulai dari perkumpulan-perkumpulan kecil, radio, televisi sampai pada kegiatan pengajian besar seputar Ramadhan yang umat Islam berbondong-bondong mendatanginya dan merelakan sedikit banyak uang, waktu dan tenaganya untuk menghadiri pengajian tersebut.
Ceramah dan pengajian di bulan Ramadhan telah menjadi adat bagi masyarakat muslim dunia. Ceramah dari para pemuka agama memang sangat diperlukan di bulan yang mulia ini, sebagaimana pendapat Ketua Departemen Dakwah Ikatan Da’i Indonesia (IKADI), KH. Kusyairi Suhail, MA, agar semangat Ramadhan tetap membara di hati umat Islam perlu upaya keras para da’i, ustadz, mubaligh, dan penggiat dakwah untuk mengelola ghiroh keagamaan masyarakat dengan baik. Karena dalam menjalankan ibadah puasa, setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Ini memang wajar, Ustman al-Khuwawi dalam kitab durotun nashihin mengatakan bahwa derajat orang berpuasa ada tiga. Pertama, puasanya orang awwam, yakni mereka yang berpuasa karena yang mereka tahu, sebagai muslim puasa di bulan Ramadhan adalah wajib dan barang siapa yang tidak mengerjakannya berdosa. Sehingga puasanya orang awam hanya sekedar menahan lapar dan dahaga.
Kedua, puasanya orang shaleh. Orang shaleh berpuasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga secara jasmani, tetapi juga menjaga rohani, karena mereka benar-benar memahami arti penting dan manfaat puasa. Ketiga, orang yang berpuasa dan hatinya hanya ingat kepada Tuhan. Ini adalah derajat tertinggi, yakni mereka yang berpuasa semata-mata hanya karena Allah swt. Bukan karena pahala ataupun takut dosa dan neraka. Dengan demikian ceramah tentang bulan Ramadhan memang sangat urgen untuk meluruskan pemahaman umat Islam tentangnya.
Dalam dakwah, sebagai penguat kata-kata dan pendapatnya, biasanya penceramah selalu menyertakan sebuah hadits atau lebih, tentunya hadits tersebut adalah hadits yang mendukung pernyataannya seputar materi yang disampaikan. Pada dasarnya hadits yang disebut oleh kebanyakan penceramah adalah hadits yang sangat populer di telinga khalayak. Hadits tersebut selalu disebut-sebut oleh para da’i yang menyampaikan ceramahnya di bulan Ramadhan. Sayangnya kebanyakan pendengar muslim hanya manthuk-manthuk alias mengamini saja apa yang disampaikan oleh penceramah tanpa menganalisa terlebih dahulu apakah yang disampaikannya benar-benar hadist atau sekedar kata mutiara.
Sangat disayangkan, saat ini banyak penceramah yang kurang begitu mau untuk meneliti apakah hadits yang disampaikan benar-benar hadits atau sekedar kata-kata indah sebagai penguat saja. Sebagai umat Islam hendaknya berhati-hati dalam menyikapi sebuah hadits, pasalnya tidak semua hadits memiliki kedudukan shohih. Ada hadits yang kedudukannya shahih, hasan, dha’if, bahkan tidak sedikit hadits yang maudhu’ atau palsu menjadi sangat populer di tengah masyarakat kita. Diantara hadits maudhu’ yang sangat populer dan sering disampaikan pada ceramah-ceramah di bulan Ramadhan adalah hadits berikut:
“Barang siapa datang ke majelis ilmu pada bulan Ramadhan, maka Allah akan catatkan untuk setiap langkah mereka pahala beribadah setahun, dan (mereka) akan bersamaku di bawah Arsyi kelak. Dan barang siapa membiasakan sholat berjama’ah di bulan Ramadhan, maka Allah akan memberinya untuk setiap raka’at sebuah kota yang pebuh dengan kenikmatan dari-Nya. Barang siapa berbakti pada orang tua pada bula Ramadhan, maka akan dilihat Allah dengan pandangan rahmat, dan aku menjadi penjaminnya untuk masuk surga. Dan tidaklah seorang istri minta ridlo pada suaminya pada bulan Ramadhan, kecuali ia mendapat pahala yang diperoleh Maryam dan Aisyah. Dan barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya sesama muslim di bulan Ramadhan, maka Allah akan memberinya seribu permintaan pada hari kiamat.”
Memang hal-hal yang dijanjikan dalam hadits tersebut sangat menggiurkan, tentu setiap muslim menginginkannya. Dan hadits tersebut juga dapat membangkitkan semangat ibadah umat Islam di bulan Ramadhan. Akan tetapi, jika diteliti kembali, ternyata hadits di atas belum dapat ditemukan perawinya. Al- Khubawi menukilnya dari kitab Dhakhirat Al- Abidin dari hadits Anas Ibn Malik. Hadits ini dihukumkan palsu dengan beberapa sebab. Diantaranya, pahala dalam hadits ini sangat rinci dan terlalu besar untuk amalan sederhana. Ibn Abbas dan Imam Asy- Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh Al- Baihaqi menegaskan bahwa jika suatu amalan pada bulan-bulan tertentu mendapat pahala berlipat ganda, maka dosa yang dilakukan pada bulan-bulan itu pun akan diberikan ganjaran berlipat ganda juga.
Selain itu, hadits ini juga tidak ditemukan dalam kitab rujukan yang mu’tabar. Ini menjadikan hadits di atas sebagai hadits yang tidak dikenali dalam sumber yang mu’tamad (laa ya’rifu lahu fi ushul mu’tamidah). Oleh karena itu hadits ini dihukumi palsu.
Di sinilah letak kesalahan kebanyakan muslim, mereka tidak mengenal agamanya sendiri. Itulah mengapa umat Islam diwajibkan untuk mempelajari agamanya, tidak lain dan tidak bukan agar mengerti dan memahami peraturan agamanya sehingga tidak salah kaprah ketika mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena seringkali umat Islam tidak memahami agamanya, terlebih bagi orang awam, mereka hanya ikut-ikutan saja yang dalam Islam disebut dengan taqlid.
Demikian juga bagi da’i, ustadz dan penceramah, hendaknya memperhatikan dan menganalisa kembali apakah yang disampaikannya benar-benar hadits atau bukan. Jika memang bukan hadits, maka harus jujur dalam menyampaikannya. Menyampaikan bahwa apa yang disampaikan adalah kata mutiara sebagai pembakar semangat umat Islam dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan, sehingga orang awam yang sangat mempercayai nasihat para da’i pun tidak salah kaprah dalam memahami perintah dan larangan agamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar