“Barang siapa gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka.”
Demikianlah bunyi hadits populer tentang bulan Ramadhan, bulan yang selalu dianggap khusus dibanding sebelas bulan lainnya. Bulan suci yang selalu dinanti-nantikan oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia. Di bulan ini penceramah bertebaran di mana-mana, mulai dari perkumpulan-perkumpulan kecil, radio, televisi sampai pada kegiatan pengajian besar seputar Ramadhan yang umat Islam berbondong-bondong mendatanginya dan merelakan sedikit banyak uang, waktu dan tenaganya untuk menghadiri pengajian tersebut.
Ceramah dan pengajian di bulan Ramadhan telah menjadi adat bagi masyarakat muslim dunia. Ceramah dari para pemuka agama memang sangat diperlukan di bulan yang mulia ini, sebagaimana pendapat Ketua Departemen Dakwah Ikatan Da’i Indonesia (IKADI), KH. Kusyairi Suhail, MA, agar semangat Ramadhan tetap membara di hati umat Islam perlu upaya keras para da’i, ustadz, mubaligh, dan penggiat dakwah untuk mengelola ghiroh keagamaan masyarakat dengan baik. Karena dalam menjalankan ibadah puasa, setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Ini memang wajar, Ustman al-Khuwawi dalam kitab durotun nashihin mengatakan bahwa derajat orang berpuasa ada tiga. Pertama, puasanya orang awwam, yakni mereka yang berpuasa karena yang mereka tahu, sebagai muslim puasa di bulan Ramadhan adalah wajib dan barang siapa yang tidak mengerjakannya berdosa. Sehingga puasanya orang awam hanya sekedar menahan lapar dan dahaga.
Kedua, puasanya orang shaleh. Orang shaleh berpuasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga secara jasmani, tetapi juga menjaga rohani, karena mereka benar-benar memahami arti penting dan manfaat puasa. Ketiga, orang yang berpuasa dan hatinya hanya ingat kepada Tuhan. Ini adalah derajat tertinggi, yakni mereka yang berpuasa semata-mata hanya karena Allah swt. Bukan karena pahala ataupun takut dosa dan neraka. Dengan demikian ceramah tentang bulan Ramadhan memang sangat urgen untuk meluruskan pemahaman umat Islam tentangnya.
Dalam dakwah, sebagai penguat kata-kata dan pendapatnya, biasanya penceramah selalu menyertakan sebuah hadits atau lebih, tentunya hadits tersebut adalah hadits yang mendukung pernyataannya seputar materi yang disampaikan. Pada dasarnya hadits yang disebut oleh kebanyakan penceramah adalah hadits yang sangat populer di telinga khalayak. Hadits tersebut selalu disebut-sebut oleh para da’i yang menyampaikan ceramahnya di bulan Ramadhan. Sayangnya kebanyakan pendengar muslim hanya manthuk-manthuk alias mengamini saja apa yang disampaikan oleh penceramah tanpa menganalisa terlebih dahulu apakah yang disampaikannya benar-benar hadist atau sekedar kata mutiara.
Sangat disayangkan, saat ini banyak penceramah yang kurang begitu mau untuk meneliti apakah hadits yang disampaikan benar-benar hadits atau sekedar kata-kata indah sebagai penguat saja. Sebagai umat Islam hendaknya berhati-hati dalam menyikapi sebuah hadits, pasalnya tidak semua hadits memiliki kedudukan shohih. Ada hadits yang kedudukannya shahih, hasan, dha’if, bahkan tidak sedikit hadits yang maudhu’ atau palsu menjadi sangat populer di tengah masyarakat kita. Diantara hadits maudhu’ yang sangat populer dan sering disampaikan pada ceramah-ceramah di bulan Ramadhan adalah hadits berikut:
“Barang siapa datang ke majelis ilmu pada bulan Ramadhan, maka Allah akan catatkan untuk setiap langkah mereka pahala beribadah setahun, dan (mereka) akan bersamaku di bawah Arsyi kelak. Dan barang siapa membiasakan sholat berjama’ah di bulan Ramadhan, maka Allah akan memberinya untuk setiap raka’at sebuah kota yang pebuh dengan kenikmatan dari-Nya. Barang siapa berbakti pada orang tua pada bula Ramadhan, maka akan dilihat Allah dengan pandangan rahmat, dan aku menjadi penjaminnya untuk masuk surga. Dan tidaklah seorang istri minta ridlo pada suaminya pada bulan Ramadhan, kecuali ia mendapat pahala yang diperoleh Maryam dan Aisyah. Dan barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya sesama muslim di bulan Ramadhan, maka Allah akan memberinya seribu permintaan pada hari kiamat.”
Memang hal-hal yang dijanjikan dalam hadits tersebut sangat menggiurkan, tentu setiap muslim menginginkannya. Dan hadits tersebut juga dapat membangkitkan semangat ibadah umat Islam di bulan Ramadhan. Akan tetapi, jika diteliti kembali, ternyata hadits di atas belum dapat ditemukan perawinya. Al- Khubawi menukilnya dari kitab Dhakhirat Al- Abidin dari hadits Anas Ibn Malik. Hadits ini dihukumkan palsu dengan beberapa sebab. Diantaranya, pahala dalam hadits ini sangat rinci dan terlalu besar untuk amalan sederhana. Ibn Abbas dan Imam Asy- Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh Al- Baihaqi menegaskan bahwa jika suatu amalan pada bulan-bulan tertentu mendapat pahala berlipat ganda, maka dosa yang dilakukan pada bulan-bulan itu pun akan diberikan ganjaran berlipat ganda juga.
Selain itu, hadits ini juga tidak ditemukan dalam kitab rujukan yang mu’tabar. Ini menjadikan hadits di atas sebagai hadits yang tidak dikenali dalam sumber yang mu’tamad (laa ya’rifu lahu fi ushul mu’tamidah). Oleh karena itu hadits ini dihukumi palsu.
Di sinilah letak kesalahan kebanyakan muslim, mereka tidak mengenal agamanya sendiri. Itulah mengapa umat Islam diwajibkan untuk mempelajari agamanya, tidak lain dan tidak bukan agar mengerti dan memahami peraturan agamanya sehingga tidak salah kaprah ketika mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena seringkali umat Islam tidak memahami agamanya, terlebih bagi orang awam, mereka hanya ikut-ikutan saja yang dalam Islam disebut dengan taqlid.
Demikian juga bagi da’i, ustadz dan penceramah, hendaknya memperhatikan dan menganalisa kembali apakah yang disampaikannya benar-benar hadits atau bukan. Jika memang bukan hadits, maka harus jujur dalam menyampaikannya. Menyampaikan bahwa apa yang disampaikan adalah kata mutiara sebagai pembakar semangat umat Islam dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan, sehingga orang awam yang sangat mempercayai nasihat para da’i pun tidak salah kaprah dalam memahami perintah dan larangan agamanya.
Rabu, 10 November 2010
Rabu, 03 November 2010
Kontroversi Filsafat dan Ilmu
Kehidupan tak akan pernah lepas dari yang namanya filsafat, karena manusia sebagai makhluk yang berakal senantiasa berpikir. Manusia selalu menggunakan akalnya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia merupakan kata majemuk dari kata philos (kekasih, sahabat) dan sophia (kebijaksanaan, pengetahuan), sehingga filsafat dapat didefinisikan dengan mencintai kebijaksanaan, sahabat kebijaksanaan, atau mencintai pengetahuan(yang benar). Jadi seorang filosof selalu mencintai kebijaksanaan dan senantiasa cinta pengetahuan. Segala hal yang dihadapinya selalu dipecahkan dengan berfilsafat hingga mendapat jawaban yang sebenar-benarnya.
Sedangkan secara terminologi filsafat mempunyai devinisi yang bervariasi. Setiap ilmuwan mendefinisikan dengan definisi berbeda, namun hakikatnya adalah sama. Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah Ilmu yang mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Descartes mendefinisikannya sebagai himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Dalam arti sederhana, filsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran atas suatu hal. Filsafat merupakan sebauh ilmu yang membahas setiap permasalahan dengan detail hingga ke akar permasalahan dan menemukan problem solving dari problem tersebut. Seorang filosof tidak akan berhenti berpikir sampai ia mendapatkan sebuah kebenaran sebagai jawaban akhir dari perkara atau masalah yang dihadapinya.
Filsafat memiliki peran yang urgen dalam menyelesaikan sebuah permasalahan hidup manusia, baik itu permasalahan ringan atau berat. Ia berperan sebagai pendobrak, pembebas dan pembimbing. Dikatakan sebagai pendobrak karena mampu mendobrak pintu ke-mitos-an dan membawanya ke arah ke-logis-an. Tradisi mitos yang tadinya sakral dan stagnan menjadi dinamis bersamaan dengan hadirnya filsafat. Ia juga pembebas manusia dari kebodohan, ketidaktahuan, berfikir primitif, dan tidak kritis. Ia menjadikan manusia memfungsikan akal dan hati yang dianugerahkanNya secara optimal. Selain dua peran tersebut, filsafat juga dikenal sebagai pembimbing manusia. Karenanya manusia berpikir maju, dan menghasilkan produk luar biasa yang menjadi pondasi berbagai macam ilmu saat ini.
Jika disandingkan dengan ilmu, sering terjadi kerancuan dalam memahaminya, Filsafat dan ilmu memiliki perbedaan juga persamaan. Jika di satu sisi memiliki objek material yang sama, yakni segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, di sisi lain ia memiliki objek kontroversial. Ditinjau dari objek formalnya, ilmu membatasi diri sejauh pengalaman dapat menjangkau; yang ada dalam lingkungan pengalaman. Sedangkan filsafat berusaha mencari keterangan sedalam-dalamnya; sejauh pikiran dalam menjangkau. Filsafat tidak akan puas hanya memandang objeknya dari satu segi khusus saja sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu.
Selain berbeda dari segi objek formal, keduanya memiliki tujuan yang bersimpangan pula. Ilmu berorientasi pada kebenaran ilmiah dan bersifat lebih khusus dibanding filsafat yang membahas segala hal, termasuk ilmu itu sendiri, sedang filsafat berorientasi pada kebenaran filosofis.
Buku “Filsafat ilmu” karya tiga dosen UIN Maliki Malang ini sengaja ditulis dan diterbitkan guna mempermudah mahasiswa di dunia umumnya dan mahasiswa UIN Maliki khususnya dalam memahami filsafat ilmu, juga agar tidak terjadi kesalahpahaman –baik mahasiswa, dosen, atau siapapun pecinta ilmu dan filsafat- mengenai pengertian, persamaan dan perbedaan antara ilmu dan filsafat.
Penulis juga berharap, dengan menuliskan apa-apa yang telah dipelajari bersama mahasiswa di kelas, semoga filsafat ilmu terus terjaga dan senantiasa berkembang seiring dengan berkembangnya zaman yang semakin edan. Sehingga buku ini dapat dijadikan rujukan atau referensi para pelajar dunia.
Pada hakikatnya, bukan hanya filsafat ilmu saja yang harus ditulis, tetapi apapun itu, jika ia adalah ilmu maka hendaknya ditulis. Karena harus diingat bahwa ilmu ibarat hewan buruan yang jika tidak diikat akan terlepas dan berlari meninggalkan kita, padahal susah payah kita mencarinya, lalu apakah kita biarkan saja ia hilang dalam waktu sekejap??! Karena itulah, hasil diskusi dengan mahasiswa baik di kelas maupun di luar kelas ini diikat dengan tulisan dalam bentuk sebuah buku. Yang sekarang buku itu telah berada di tangan pembaca dan tak akan pernah terlepas. Karena tulisan adalah pengikat paling kuat.
Senin, 01 November 2010
Ramadhan yang Hilang
Ramadhan akan segera berlalu, sepuluh malam terakhir di bulan yang penuh rahmat ini, seyogyanya umat Islam berlomba-lomba meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepadaNya, saat sholat tarawih masjid-masjid dipenuhi oleh para jama’ah dan dilanjutkan dengan tadarus rutin. Namun sepertinya itu hanya menjadi sejarah yang ada di zaman Nabi dan para sahabatnya saja, saat ini jika kita melihat kondisi umat Islam menjalani detik-detik terakhir bulan Ramadhan, hati terasa miris. Ritual-ritual ibadah sedikit demi sedikit terkikis dan hampir punah.
Di bulan Ramadhan setan dan bala tentaranya telah dirantai agar tidak berkeliaran menggoda manusia dalam menjalankan ibadah, sehingga seharusnya di bulan ini kita tidak menyaksikan kecuali kebaikan. Tetapi mengapa saat ini masih sering kita saksikan kejahatan, kriminalitas, dan kekacauan-kekacauan lain bertebaran di setiap tempat. Lalu kemanakah bulan Ramadhan?! Mungkinkah ia telah hilang bersama meninggalnya Nabi dan para sahabat?! Sungguh hal yang membuat ulu hati terasa sakit. Ramadhan benar-benar telah hilang, hanya segelintir muslim saja yang benar-benar merasakan dan menikmati hadirnya bulan yang suci ini.
Menjelang berbuka setiap orang baik secara individu maupun kelompok berbondong-bondong mencari rumah makan dengan menu terlezat untuk berbuka. Hampir semua rumah makan, mulai dari warung-warung kecil di pinggir jalan hingga restaurant ternama ramai dengan pengunjung. Akan tetapi surau, mushola dan masjid sepi layaknya kuburan, hanya beberapa orang yang tampak di sana.
Bukan hanya berhenti sampai di situ, entah apa yang telah terjadi, kebanyakan umat Islam telah salah memaknai Ramadhan. Saat tiba waktu sholat tarawih, mereka yang sedang menikmati hidangan buka puasa bukan bergegas menyelesaikan berbuka dan segera mengambil air wudlu, akan tetapi sengaja berlama-lama menikmati hidangan yang ada di atas meja makan seakan-akan membalaskan dendam karena seharian penuh perutnya tidak diisi. Semua makanan dilahap dengan tanpa mengindahkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk makan secukupnya, yakni 1/3 untuk air, 1/3 untuk makanan dan 1/3 untuk udara. Terutama para remaja, biasanya berbuka bersama orang terkasih. Acara buka puasa pun dilanjutkan dengan ‘nongkrong bareng’ sambil menikmati indahnya malam di bulan Ramadhan. Apakah ini sebagai wujud memperingati bulan Ramadhan?! Kenyataan ini sungguh tragis.
Padahal telah diketahui bersama, Ramadhan adalah bulan penuh hikmah, berkah dan karunia, perintah untuk menjalankannya langsung difirmankan olehNya dalam Qs. Al-baqoroh:183 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertalwa.”
Ayat tersebut menjelaskan dua makna secara detail. Pertama, bahwa perintah puasa tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, akan tetapi kepada orang yang beriman. Kedua, bahwa perintah puasa bukanlah perintah baru dari Tuhan, akan tetapi Allah telah memerintahkannya kepada umat terdahulu dan terbukti meskipun puasa adalah ibadah yang berat, akan tetapi mereka mampu menjalankannya sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam saat ini mengatakan “keberatan untuk menjalankan ibadah puasa”.
Lalu dalam ayat tersebut dijelaskan pula tujuan berpuasa di bulan Ramadhan, yakni “agar kamu bertakwa”. Jadi puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga. Ada hal lain yang lebih berat dan harus ditahan oleh para shoim, yakni nafsu, lebih tepatnya lagi menjaga nafsu agar tidak melampaui batas. Nafsu adalah musuh terbesar manusia, karena selamanya ia bersemayam dalam ruh manusia, dan manusia sendiri tak akan pernah bisa mengusirnya. Karena itu manusia harus mengatur dan mengendalikannya agar tidak berlari menerjang batas atau bahkan melompatinya.
Jika dalam menjalankan ibadah puasa disertai pemahaman yang benar, yakni menjaga diri dari nafsu yang cenderung mengajak manusia berbuat munkar, maka tak akan ada manusia yang berbuat jahat di bulan ini. sehingga ibadah puasa yang dilakukannya dapat memberi manfaat pada kehidupan pribadi dan orang lain. Dan tradisi bulan Ramadhan pun tidak akan berhenti seiring dengan habisnya hari di bulan ini. Istilah “puasa selesai, ibadah juga selesai, maksiat jalan lagi” semoga tidak terucap lagi dari mulut para shoim.
Dari sini dapat dipahami bahwa puasa adalah proses untuk meningkatkan ketakwaan kita. Sebagaimana kata Guru Besar Ulumul Qur’an Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bahwa Ramadhan sebenarnya adalah madrasah atau lembaga untuk membimbing manusia menjadi lulusan yang beriman dan bertakwa. Ia akan menjadi modal awal untuk menjalani kehidupannya selama sebelas bulan pasca Ramadhan. Jika para shoim berhasil mencapai tujuan mulia Ramadhan, maka wujud baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur bukan hanya sekedar mimpi.
Sebagai umat Islam, kita harus berusaha mengembalikan makna Ramadhan. Peran ulama’, da’i, dan muballigh sangat diperlukan untuk meluruskan kembali pamahaman umat Islam tentang Ramadhan. Agar mereka yang belum tahu atau mungkin lupa akan makna hakiki dari Ramadhan segera kembali ke jalan yang lurus; shirothol mustaqiim sehingga tidak salah kaprah dalam melaksanakannya.
Di bulan Ramadhan setan dan bala tentaranya telah dirantai agar tidak berkeliaran menggoda manusia dalam menjalankan ibadah, sehingga seharusnya di bulan ini kita tidak menyaksikan kecuali kebaikan. Tetapi mengapa saat ini masih sering kita saksikan kejahatan, kriminalitas, dan kekacauan-kekacauan lain bertebaran di setiap tempat. Lalu kemanakah bulan Ramadhan?! Mungkinkah ia telah hilang bersama meninggalnya Nabi dan para sahabat?! Sungguh hal yang membuat ulu hati terasa sakit. Ramadhan benar-benar telah hilang, hanya segelintir muslim saja yang benar-benar merasakan dan menikmati hadirnya bulan yang suci ini.
Menjelang berbuka setiap orang baik secara individu maupun kelompok berbondong-bondong mencari rumah makan dengan menu terlezat untuk berbuka. Hampir semua rumah makan, mulai dari warung-warung kecil di pinggir jalan hingga restaurant ternama ramai dengan pengunjung. Akan tetapi surau, mushola dan masjid sepi layaknya kuburan, hanya beberapa orang yang tampak di sana.
Bukan hanya berhenti sampai di situ, entah apa yang telah terjadi, kebanyakan umat Islam telah salah memaknai Ramadhan. Saat tiba waktu sholat tarawih, mereka yang sedang menikmati hidangan buka puasa bukan bergegas menyelesaikan berbuka dan segera mengambil air wudlu, akan tetapi sengaja berlama-lama menikmati hidangan yang ada di atas meja makan seakan-akan membalaskan dendam karena seharian penuh perutnya tidak diisi. Semua makanan dilahap dengan tanpa mengindahkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk makan secukupnya, yakni 1/3 untuk air, 1/3 untuk makanan dan 1/3 untuk udara. Terutama para remaja, biasanya berbuka bersama orang terkasih. Acara buka puasa pun dilanjutkan dengan ‘nongkrong bareng’ sambil menikmati indahnya malam di bulan Ramadhan. Apakah ini sebagai wujud memperingati bulan Ramadhan?! Kenyataan ini sungguh tragis.
Padahal telah diketahui bersama, Ramadhan adalah bulan penuh hikmah, berkah dan karunia, perintah untuk menjalankannya langsung difirmankan olehNya dalam Qs. Al-baqoroh:183 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertalwa.”
Ayat tersebut menjelaskan dua makna secara detail. Pertama, bahwa perintah puasa tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, akan tetapi kepada orang yang beriman. Kedua, bahwa perintah puasa bukanlah perintah baru dari Tuhan, akan tetapi Allah telah memerintahkannya kepada umat terdahulu dan terbukti meskipun puasa adalah ibadah yang berat, akan tetapi mereka mampu menjalankannya sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam saat ini mengatakan “keberatan untuk menjalankan ibadah puasa”.
Lalu dalam ayat tersebut dijelaskan pula tujuan berpuasa di bulan Ramadhan, yakni “agar kamu bertakwa”. Jadi puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga. Ada hal lain yang lebih berat dan harus ditahan oleh para shoim, yakni nafsu, lebih tepatnya lagi menjaga nafsu agar tidak melampaui batas. Nafsu adalah musuh terbesar manusia, karena selamanya ia bersemayam dalam ruh manusia, dan manusia sendiri tak akan pernah bisa mengusirnya. Karena itu manusia harus mengatur dan mengendalikannya agar tidak berlari menerjang batas atau bahkan melompatinya.
Jika dalam menjalankan ibadah puasa disertai pemahaman yang benar, yakni menjaga diri dari nafsu yang cenderung mengajak manusia berbuat munkar, maka tak akan ada manusia yang berbuat jahat di bulan ini. sehingga ibadah puasa yang dilakukannya dapat memberi manfaat pada kehidupan pribadi dan orang lain. Dan tradisi bulan Ramadhan pun tidak akan berhenti seiring dengan habisnya hari di bulan ini. Istilah “puasa selesai, ibadah juga selesai, maksiat jalan lagi” semoga tidak terucap lagi dari mulut para shoim.
Dari sini dapat dipahami bahwa puasa adalah proses untuk meningkatkan ketakwaan kita. Sebagaimana kata Guru Besar Ulumul Qur’an Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bahwa Ramadhan sebenarnya adalah madrasah atau lembaga untuk membimbing manusia menjadi lulusan yang beriman dan bertakwa. Ia akan menjadi modal awal untuk menjalani kehidupannya selama sebelas bulan pasca Ramadhan. Jika para shoim berhasil mencapai tujuan mulia Ramadhan, maka wujud baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur bukan hanya sekedar mimpi.
Sebagai umat Islam, kita harus berusaha mengembalikan makna Ramadhan. Peran ulama’, da’i, dan muballigh sangat diperlukan untuk meluruskan kembali pamahaman umat Islam tentang Ramadhan. Agar mereka yang belum tahu atau mungkin lupa akan makna hakiki dari Ramadhan segera kembali ke jalan yang lurus; shirothol mustaqiim sehingga tidak salah kaprah dalam melaksanakannya.
Manusia
Sang kholifah di muka bumi, yang semua malaikat tunduk bersujud padanya, yang dianugerahi akal dan dengannya ia menjadi makhluk paling sempurna diantara makhluk Tuhan lainnya, yang jika hina kehinaannya melebihi seekor binatang, tiada lain tiada bukan adalah manusia.
Itulah manusia, kadang ia menjelma menjadi malaikat yang begitu taat, tunduk pada sang kholiq, dan tak pernah berbuat syirik. Tapi hanya dalam satu kedipan mata, spontan ia menjelma menjadi iblis yang tak punya hati, berbuat maksiat kepada Tuhan dan tak mengakui keesaanNya. Sekejap, begitu indah hidup menjadi manusia, dengan akal ia bisa mengadakan perubahan yang hebat. Kesejahteraan dunia bisa digenggam dengan begitu mudah. Tapi dalam sekejap juga, menjadi manusia terasa begitu sulit, dengan nafsu yang dimilikinya seringkali ia terjebak dalam kubang kegelapan dan menyebabkan kehancuran di berbagai tempat. Lalu, apa yang harus kita perbuat sebagai manusia???
Kiranya kita tak perlu risau, karena Islam telah memberi jalan yang terbentang luas kepada umatnya. Jalan yang jika dilalui untuk menuju tujuan hidup, maka ia akan selamat sampai tujuan. Islam tak pernah memaksa manusia untuk mengikuti ajarannya, karena Islam adalah agama perdamaian serta sangat menghargai pluralitas. Manusia telah ditunjukkan pada dua jalan kontradiksi beserta konsekuensinya. Dapat dikatakan jalan yang lurus dan yang menyimpang.
Maka keputusan berada di tangan manusia. Apakah ia akan memilih jalan yang lurus dengan konsekuensi pahala untuknya, ataukah memilih jalan yang menyimpang dengan konsekuensi adzab Tuhan menantinya. Memang bukan hal mudah untuk menempuh jalan yang lurus, karena hakikatnya jalan itu sangat berliku-liku. Berbagai cobaan datang menghadang, mereka yang tak mampu menghadapinya akan putus asa dibuatnya. Tapi, mereka yang mampu menghadapinya dengan penuh kesadaran dan keridhoan akan mampu menikmati dan merasakan betapa besar cinta Tuhan padanya. Karena Tuhan tak akan memberi cobaan kepada manusia melebihi batas kemampuannya.
Kelahiran
Manusia, sebagimana hewan, tumbuhan dan alam semesta adalah makhluk, yakni sesuatu yang diciptakan. Sebagai sesuatu yang diciptakan, tentu ada sang kholiq yang menciptakan. Lalu bagaimana asal mula penciptaan manusia hingga ia terlahir di dunia ini?! Pertanyaan inilah yang sempat menjadi perdebatan hebat antar ilmuwan dunia, dan bahkan sampai saat ini masih saja ada orang yang memperdebatkan masalah ini, baik ilmuwan maupun non-ilmuwan. Darwin dengan teori evolusinya sempat menjadi berita populer yang diyakini oleh banyak orang. Ia mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berbicara atau dalam istilah arab dikatakan hayawanun natiq. Manusia adalah kera yang berevolusi secara bertahap hingga akhirnya menjadi manusia.
Sebagai muslim, perlu kita yakini bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan penuh cinta dan kasih sayang sebagaimana telah dikisahkan dalam kitabullah kariim Al- Qur’an. Bahwa manusia berasal dari suatu saripati yang berasal dari tanah. Sebagaimana frman Allah swt dalam Qs. Al-mu’minun:12-14 sebagai berikut:
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين. ثم جعلنه نطفة في قرار مكين. ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مظغة فخلقنا المظغة عظاما فكسونا العظم لحما ثم أنشأنه خلقا ءاخر فتبارك الله أحسن الخلقين.
“ Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh(rahim). Kemudian air itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik. (Al- mu’ninun:12-14)
Karena itu, kiranya tak perlu diragukan lagi bahwa kelahiran manusia ke dunia ini atas kehendak Tuhan. Bukan suatu kebetulan apalagi keterpaksaan. Tuhan sengaja menciptakan manusia untuk menyembahNya dan menjadi kholifah di muka bumi, bukan untuk membangkangNya ataupun membuat kerusakan. Jika manusia membuat kerusakan di muka bumi, maka ia telah menyalahi kodrat dan perintahNya.
Kematian
Tuhan telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan agar dapat saling melengkapi satu sama lain. Ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada hitam ada putih, ada pertemuan ada perpisahan, demikian juga ada kelahiran ada kematian. Banyak orang yang takut akan hadirnya kematian, baginya kematian adalah sosok yang sangat mengerikan. Tapi ada juga sebagian orang yang siap akan datangnya kematian. Itu semua tergantung bagaimana seseorang mengerti dan memahami akan arti sebuah kematian. Allah swt berfirman:
كل نفس ذائقة الموت، وانما توفون اجوركم يوم القيامة فمن زخزح عن النار وادخل الجنة فقد فاز وما الحيوة الدنيا الا متاع الغرور
“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa diajuhkan dari neraka dan dimasukkan dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali- imron: 185)
Jika setiap manusia mengingat ayat tersebut, niscaya tak akan ada manusia jahat di dunia ini. karena semua sadar bahwa sebagaimana dahulu ia dilahirkan ke dunia ini, tentu suatu saat akan pergi meninggalkan dunia ini menuju tempat asal, yakni Allah swt sang Kholiq. Dan untuk dapat kembali dengan keadaan selamat manusia harus berbuat baik selama hidupnya di dunia, karena setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah ia perbuat. “ kullukum roo’in wa kullukum masulun ‘an ro’iyyatihi.”
Kematian adalah rahasia Tuhan, tak seorangpun tahu kapan dan dimana ruhnya akan meninggalkan jasad yang ditempatinya dan kembali kepada Tuhan sang Kholiq. Ia datang dengan tiba-tiba. Bagaimanapun manusia tak akan pernah bisa menghindar darinya. Meski ia bersembunyi di lubang semut sekalipun.
Kematian bukan hal yang harus ditakuti, tapi ia adalah kenyataan yang suatu saat harus diterima dan dihadapi oleh setiap jiwa. Dan mau tidak mau manusia harus menghadapinya karena ia adalah makhluk bernyawa yang suatu saat malaikat Izroil akan mencabut nyawanya. Hendaknya manusia selalu ingat bahwa kematian selalu mengikutinya dan selalu siap untuk merenggut nyawanya, sehingga dalam setiap hembus nafasnya adalah kebaikan dan dalam setiap langkah kakinya adalah ibadah.
Dan perlu diingat bahwa kematian bukanlah akhir kehidupan, masih ada kehidupan lain yang menanti. Masih banyak tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari kehidupan pasca kematian yakni kehidupan di alam barzah sampai pada yaumul jaza’, hari pembalasan semua amal perbuatan manusia dimana mereka yang timbangan kebaikannya lebih berat akan diantar ke istana megah berupa surgaNya, dan mereka yang timbangan keburukannya lebih berat akan dilempar ke api neraka jahannam.
Wahai manusia, kuburan adalah rumah masa depan kita. Karena itu mari kita persiapkan diri kita baik secara dhohir maupun batin untuk menyambut rumah masa depan, agar nanti ia menjadi rumah mewah, nyaman dan aman bak istana para raja yang begitu megah dan indah hingga tiba yaumul qiyamah dan kita akan melanjutkan perjalanan ke istana yang lebih megah, yakni jannatunna’im. Selamat menjalankan tugas sebagai hamba Allah swt sekaligus kholifah fil ardh.
Itulah manusia, kadang ia menjelma menjadi malaikat yang begitu taat, tunduk pada sang kholiq, dan tak pernah berbuat syirik. Tapi hanya dalam satu kedipan mata, spontan ia menjelma menjadi iblis yang tak punya hati, berbuat maksiat kepada Tuhan dan tak mengakui keesaanNya. Sekejap, begitu indah hidup menjadi manusia, dengan akal ia bisa mengadakan perubahan yang hebat. Kesejahteraan dunia bisa digenggam dengan begitu mudah. Tapi dalam sekejap juga, menjadi manusia terasa begitu sulit, dengan nafsu yang dimilikinya seringkali ia terjebak dalam kubang kegelapan dan menyebabkan kehancuran di berbagai tempat. Lalu, apa yang harus kita perbuat sebagai manusia???
Kiranya kita tak perlu risau, karena Islam telah memberi jalan yang terbentang luas kepada umatnya. Jalan yang jika dilalui untuk menuju tujuan hidup, maka ia akan selamat sampai tujuan. Islam tak pernah memaksa manusia untuk mengikuti ajarannya, karena Islam adalah agama perdamaian serta sangat menghargai pluralitas. Manusia telah ditunjukkan pada dua jalan kontradiksi beserta konsekuensinya. Dapat dikatakan jalan yang lurus dan yang menyimpang.
Maka keputusan berada di tangan manusia. Apakah ia akan memilih jalan yang lurus dengan konsekuensi pahala untuknya, ataukah memilih jalan yang menyimpang dengan konsekuensi adzab Tuhan menantinya. Memang bukan hal mudah untuk menempuh jalan yang lurus, karena hakikatnya jalan itu sangat berliku-liku. Berbagai cobaan datang menghadang, mereka yang tak mampu menghadapinya akan putus asa dibuatnya. Tapi, mereka yang mampu menghadapinya dengan penuh kesadaran dan keridhoan akan mampu menikmati dan merasakan betapa besar cinta Tuhan padanya. Karena Tuhan tak akan memberi cobaan kepada manusia melebihi batas kemampuannya.
Kelahiran
Manusia, sebagimana hewan, tumbuhan dan alam semesta adalah makhluk, yakni sesuatu yang diciptakan. Sebagai sesuatu yang diciptakan, tentu ada sang kholiq yang menciptakan. Lalu bagaimana asal mula penciptaan manusia hingga ia terlahir di dunia ini?! Pertanyaan inilah yang sempat menjadi perdebatan hebat antar ilmuwan dunia, dan bahkan sampai saat ini masih saja ada orang yang memperdebatkan masalah ini, baik ilmuwan maupun non-ilmuwan. Darwin dengan teori evolusinya sempat menjadi berita populer yang diyakini oleh banyak orang. Ia mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berbicara atau dalam istilah arab dikatakan hayawanun natiq. Manusia adalah kera yang berevolusi secara bertahap hingga akhirnya menjadi manusia.
Sebagai muslim, perlu kita yakini bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan penuh cinta dan kasih sayang sebagaimana telah dikisahkan dalam kitabullah kariim Al- Qur’an. Bahwa manusia berasal dari suatu saripati yang berasal dari tanah. Sebagaimana frman Allah swt dalam Qs. Al-mu’minun:12-14 sebagai berikut:
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين. ثم جعلنه نطفة في قرار مكين. ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مظغة فخلقنا المظغة عظاما فكسونا العظم لحما ثم أنشأنه خلقا ءاخر فتبارك الله أحسن الخلقين.
“ Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh(rahim). Kemudian air itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik. (Al- mu’ninun:12-14)
Karena itu, kiranya tak perlu diragukan lagi bahwa kelahiran manusia ke dunia ini atas kehendak Tuhan. Bukan suatu kebetulan apalagi keterpaksaan. Tuhan sengaja menciptakan manusia untuk menyembahNya dan menjadi kholifah di muka bumi, bukan untuk membangkangNya ataupun membuat kerusakan. Jika manusia membuat kerusakan di muka bumi, maka ia telah menyalahi kodrat dan perintahNya.
Kematian
Tuhan telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan agar dapat saling melengkapi satu sama lain. Ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada hitam ada putih, ada pertemuan ada perpisahan, demikian juga ada kelahiran ada kematian. Banyak orang yang takut akan hadirnya kematian, baginya kematian adalah sosok yang sangat mengerikan. Tapi ada juga sebagian orang yang siap akan datangnya kematian. Itu semua tergantung bagaimana seseorang mengerti dan memahami akan arti sebuah kematian. Allah swt berfirman:
كل نفس ذائقة الموت، وانما توفون اجوركم يوم القيامة فمن زخزح عن النار وادخل الجنة فقد فاز وما الحيوة الدنيا الا متاع الغرور
“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa diajuhkan dari neraka dan dimasukkan dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali- imron: 185)
Jika setiap manusia mengingat ayat tersebut, niscaya tak akan ada manusia jahat di dunia ini. karena semua sadar bahwa sebagaimana dahulu ia dilahirkan ke dunia ini, tentu suatu saat akan pergi meninggalkan dunia ini menuju tempat asal, yakni Allah swt sang Kholiq. Dan untuk dapat kembali dengan keadaan selamat manusia harus berbuat baik selama hidupnya di dunia, karena setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah ia perbuat. “ kullukum roo’in wa kullukum masulun ‘an ro’iyyatihi.”
Kematian adalah rahasia Tuhan, tak seorangpun tahu kapan dan dimana ruhnya akan meninggalkan jasad yang ditempatinya dan kembali kepada Tuhan sang Kholiq. Ia datang dengan tiba-tiba. Bagaimanapun manusia tak akan pernah bisa menghindar darinya. Meski ia bersembunyi di lubang semut sekalipun.
Kematian bukan hal yang harus ditakuti, tapi ia adalah kenyataan yang suatu saat harus diterima dan dihadapi oleh setiap jiwa. Dan mau tidak mau manusia harus menghadapinya karena ia adalah makhluk bernyawa yang suatu saat malaikat Izroil akan mencabut nyawanya. Hendaknya manusia selalu ingat bahwa kematian selalu mengikutinya dan selalu siap untuk merenggut nyawanya, sehingga dalam setiap hembus nafasnya adalah kebaikan dan dalam setiap langkah kakinya adalah ibadah.
Dan perlu diingat bahwa kematian bukanlah akhir kehidupan, masih ada kehidupan lain yang menanti. Masih banyak tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari kehidupan pasca kematian yakni kehidupan di alam barzah sampai pada yaumul jaza’, hari pembalasan semua amal perbuatan manusia dimana mereka yang timbangan kebaikannya lebih berat akan diantar ke istana megah berupa surgaNya, dan mereka yang timbangan keburukannya lebih berat akan dilempar ke api neraka jahannam.
Wahai manusia, kuburan adalah rumah masa depan kita. Karena itu mari kita persiapkan diri kita baik secara dhohir maupun batin untuk menyambut rumah masa depan, agar nanti ia menjadi rumah mewah, nyaman dan aman bak istana para raja yang begitu megah dan indah hingga tiba yaumul qiyamah dan kita akan melanjutkan perjalanan ke istana yang lebih megah, yakni jannatunna’im. Selamat menjalankan tugas sebagai hamba Allah swt sekaligus kholifah fil ardh.
Langganan:
Postingan (Atom)